Kamu mungkin sering denger,
“Aku mah makan buat hidup yang penting udah diisi nasi itu cukup,”
sama..
“Aku hidup buat makan. Apapun makanannya, mereka punya history yang seru dikulik pokoknya.”
atau salah satunya itu kamu?
Memang dua statement ini punya kata-kata yang sama, tapi dari segi makna beda banget.
Kamu bisa lihat si A makan nasi banyak dan lauk nya sedikit banget. Kamu mungkin bertanya-tanya ‘emang cukup lauknya kalau nasi sebanyak itu?’ Padahal si A ini menerapkan ‘Aku makan buat hidup. Perut kenyang, Kerjaan kelar.’
Namun si B makan makanan yang unik dan jarang ditemuin, apalagi porsinya cuman secuil. si B bahagia banget dari foto makanan sampai kasih pujian ke koki nya. Kalau si B ini terapin “Aku hidup buat makan.”
Artikel ini bakal bahas apa sih yang membedakan hidup untuk makan vs makan untuk hidup dari sisi psikologi nya, yuk bahas!
Baca juga Ngidam Burger Kok Jadi Nostalgia?: 5 Comfort Food yang Bikin Momen Lama Terulang Makna Psikologi “Hidup untuk Makan vs Makan untuk Hidup”
Makanan itu kebutuhan dasar manusia. Ibaratnya tuh Manusia makan, Manusia berfungsi.
Ini relevan sama teori Kebutuhan dasar dari Abraham Maslow (1943). Kebutuhan fisiologis sebagai batas dasar yang harus dipenuhi dalam fase hidup manusia.
Kalau kebutuhan dasar sudah terpenuhi, maka manusia bisa survive dan berfungsi sebagaimana adanya. Hal itu menunjukkan makna apa itu makan buat hidup, biar ‘aku’ bisa hadapi hari ini dengan baik.
Bakalan berbeda dengan hidup untuk makan. Pernah denger ungkapan ini “Hari ini kerjaan udah selesai.. Matcha latte enak kali ya”? Kalau kamu pernah denger, apa sih artinya?
Yup! Reward!
Setiap selesain milestone hidupnya, banyak orang yang menjadikan makanan sebagai bentuk reward emosional. Namun, pengalaman hidup dapat memengaruhi cara pandang mereka terhadap makanan secara signifikan
(Boggiano et al, 2014)
Sistem reward ini nunjukkin usaha yang sudah dia lakukan dan pantas untuk merayakannya. Tentu hal ini, kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi dan kebutuhan lainnya pun juga sudah.
Dua hal tersebut bukan kasih tahu mana yang lebih baik. tapi mau kasih tahu realita yang di pilih oleh orang-orang tersebut. Pilihan-pilihan itu cerminan hidupnya dan survive-mode mereka.
Transformasi “Makan untuk Hidup ke Hidup untuk Makan”
Kisah ini bakal kasih tahu kamu kalau dua statement ini bisa berubah seiring berjalannya waktu.
“Semasa kecil makanan itu hal krusial dan membahagiakan sampai harus makanan ‘itu’ yang bisa membawa keceriaan ke dalam hidup. Mulai beranjak dewasa, kondisi untuk memenuhi kebahagiaan tersebut sudah hilang, makanan enak dan happy-vibe sudah tidak ada. Hanya ada makanan untuk berfungsi dan berperan sebagai manusia seadanya. Apapun makanan nya akan dimakan tanpa menyisakannya.”
Apasih yang bisa kita maknai dari kisah diatas?
Berawal Krisis ke Kesadaran: Ini Kata Psikologi
Mari kita bahas bareng biar bisa memaknai dan paham “Hidup untuk Makan vs Makan untuk Hidup”
- Comfort Food & Emotional Connection
Mulai dari “Semasa kecil makanan itu hal krusial dan membahagiakan sampai harus makanan ‘itu’ yang bisa membawa keceriaan ke dalam hidup…”
Bagian ini, masih menjelaskan bagaimana ‘Hidup untuk Makan.’ Makanan hal yang sangat berarti dan punya peran besar dalam hidupnya yang menunjukkan comfort food dan ikatan emosional dengan makanan.
Kemudian, “...Mulai beranjak dewasa, kondisi untuk memenuhi kebahagiaan tersebut sudah hilang, makanan enak dan happy-vibe sudah tidak ada…”
Krisis mulai terjadi dan menjadi pintu adanya transformasi dari Hidup untuk Makan jadi Makan untuk Hidup. Kalau kata Psikologi, transformasi ini dikenal sebagai Post-Traumatic Growth.
Post-Traumatic Growth dari
Tedeschi & Calhoun (2009) yang menjelaskan kalau
pengalaman sulit, seperti krisis ekonomi atau penyakit, bisa mengubah makna hidup seseorang, termasuk cara mereka melihat makanan Akhirnya, “Hanya ada makanan untuk berfungsi dan berperan sebagai manusia seadanya. Apapun makanan nya akan dimakan tanpa menyisakannya.”
Titik ini sudah
mulai lebih reflektif dan bersyukur akan hubungannya dengan makanan
(Kristeller & Wolever, 2011). Makna aktivitas makan sudah berubah dan lebih sadar akan makanan itu bukan hanya sebatas
happy-vibe dan
comfort food, tapi bawa nilai yang lebih dari itu.
Jadi...
Apapun prinsip yang kamu bawa dalam hidup berkaitan dengan makanan atau aspek kehidupan lainnya bisa berubah dan punya makna mendalam disetiap transisi nya.
Perubahan makna itu wajar. Kadang kita hidup untuk makan, kadang makan untuk hidup. Keduanya bisa menjadi bentuk cinta pada diri sendiri atau pada hidup itu sendiri.
Let’s embrace it!